top of page

Upaya "Ambil Paksa" Demokrat dan Bau Menyengat Penguasa


Oleh: Muh Fitrah Yunus

Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Pemerhati HTN dan Kebijakan Publik


Bagi negara yang mengedepankan moral-ethics, yang seluruh kehidupan sosial bernegaranya berlandaskan pada Pancasila, tidak pantas mengedepankan politik ala Machiavelli, politik tanpa etika.


Politik yang jauh dari nilai etika tentu bertolak belakang dari nilai-nilai Pancasila. Sederhana pendapat Machiavelli, yang menyandarkan bahwa etika itu tidak diperlukan dalam politik karena akan memperlemah negara. Dalam arti lain, menghalalkan segala cara demi stabilitas negara.


Seirama! Apa yang dilakukan oleh beberapa mantan kader Partai Demokrat yang telah dipecat oleh Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono, yang menyelenggarakan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengingatkan kita pada penggagas teori politik zaman renaissance itu. Upayanya untuk mengambil paksa Partai Demokrat dari tangan Ketua Umum AHY, dan memindah tangankan posisi ketua umum ke Moeldoko. Praktis, murah. Konstitusional? Tunggu dulu!


Tentu hal ini menjadi tantangan bagi AHY sebagai ketua umum dan juga tantangan bagi pemerintah jika mengesahkan kepengurusan Partai Demokrat versi Moeldoko. Mengapa? Karena Moeldoko posisinya saat ini adalah sebagai pejabat negara, yaitu Kepala Kantor Staf Presiden. Kecurigaan publik atas kepentingan penguasa dalam KLB Partai Demokrat akan dibuktikan jika kepengurusan Partai Demokrat versi Moeldoko disahkan oleh Menkumham.


Seruan Perang


Sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, menyerukan perang atas ketidakadilan yang dihadapinya. Perebutan paksa yang dilakukan para mantan kader Partai Demokrat yang melakukan KLB tidak hanya mencederai aturan yang ada di partai berlambang mercy itu, namun juga mencederai asas berdemokrasi di negara ini.


SBY menekankan, bahwa perbuatan pengambilalihan paksa Partai Demokrat adalah perbuatan melanggar hukum. Persekongkolan yang dilakukan oleh orang dalam partai dan orang luar partai dalam upaya kudeta, membuka mata masyarakat bahwa politik dewasa ini, khususnya yang dilakukan oleh para mantan kader Partai Demokrat menyalahi etika dalam berpolitik.


Upaya yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono, beberapa hari sebelumnya dirasa belum cukup untuk memberikan pemahaman kepada publik atas apa yang terjadi di internal Partai Demokrat, sehingga sebagai Majelis Tinggi, SBY juga harus angkat bicara.


Ada 8 poin yang disampaikan oleh SBY setelah terjadinya KLB (tempo.co): Pertama, Partai Demokrat dan rakyat Indonesia berkabung atas terjadinya KLB Demokrat di Deli Serdang yang disebutnya abal-abal, tidak sah, dan ilegal. SBY juga mengatakan bahwa keadilan, supremasi hukum, dan demokrasi sedang diuji. Kedua, Partai Demokrat sempat dituding hanya mencari sensasi saat Ketua Umum, AHY mengirim surat kepada pemerintah tentang upaya gerakan kudeta pada 1 Februari 2021.


Ketiga, malu dan merasa bersalah pernah beri jabatan ke Moeldoko. SBY mengungkapkan kekecewaannya karena tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa Moeldoko akan melakukan upaya kudeta. Yudhoyono menilai Moeldoko telah melakukan perebutan kepemimpinan yang tak terpuji, jauh dari sikap kesatria dan nilai-nilai moral. Ia mengatakan perbuatan itu hanya mendatangkan rasa malu bagi perwira dan prajurit yang pernah bertugas di jajaran Tentara Nasional Indonesia.


Keempat, SBY mengatakan KLB Demokrat di Deli Serdang ilegal. Dia menjelaskan, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Demokrat mengatur bahwa KLB dapat diadakan atas permintaan (a) Majelis Tinggi Partai atau (b) sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah DPD dan setengah dari jumlah DPC, serta disetujui Ketua Majelis Tinggi Partai. Bahkan, menurut SBY, tidak ada satupun DPD yang mengusulkan KLB. Sedangkan hanya 34 dari 514 DPC atau tujuh persen yang mengusulkan KLB, dari seharusnya minimal 50 persen. Jikapun ada permintaan dari DPC dan DPD, usulan itu harus mendapatkan persetujuan Ketua Majelis Tinggi Partai.


Kelima, sebut Moeldoko dan pelaku KLB akali AD/ART. SBY menyebut ada akal-akalan dari pihak Moeldoko dan pelaksana KLB Deli Serdang untuk mengubah dan mengganti AD/ART. Sebelum mengangkat Moeldoko menjadi ketua umum. Mantan Ketua Umum Demokrat ini mengatakan perubahan AD/ART partai harus dilakukan dalam forum yang sah. Sedangkan KLB Deli Serdang disebutnya ilegal dan tidak sah karena tak memenuhi persyaratan yang diatur di AD/ART Demokrat yang telah disahkan Kementerian Hukum dan HAM.


Keenam, tak menyangka Partai Demokrat diganggu. SBY mengatakan tak pernah menyangka partai yang ia gagas akan diganggu dan dirusak. Ia juga menyatakan bahwa peristiwa semacam ini tak pernah terjadi saat dirinya menjadi presiden selama dua periode. SBY mengaku tak pernah mengganggu dan merusak partai politik yang ada di Tanah Air.


Ketujuh, yakin bahwa Presiden Jokowi akan arif menyikapi KLB Demokrat. Yudhoyono mengatakan tetap percaya bahwa Presiden Joko Widodo atau Jokowi arif menyikapi hasil Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. Yudhoyono juga mengaku percaya negara dan pemerintah akan bertindak adil serta menegakkan pranata hukum yang berlaku. Baik itu konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Partai Politik, maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat yang secara hukum juga mengikat.


Kedelapan, ajak kader memperjuangkan keadilan. SBY mengatakan ia memahami para kadernya merasa marah, terhina, dan merasa diperlakukan sewenang-wenang karena gerakan pengambilalihan kepemimpinan lewat KLB Deli Serdang. Ia juga mengerti jajarannya merasa geram kepada kader yang berkhianat dengan “iming-iming” kedudukan, serta ingin membalas perbuatan mereka. Namun, SBY meminta para kadernya tetap bersabar, sembari pada saat yang sama berjuang mendapatkan keadilan sejati. Ia mengajak mereka untuk semakin bersatu dan merapatkan barisan di bawah komando dan kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.


Persetujuan Moeldoko


Salah satu yang menjadi perhatian publik sampai saat ini bahwa apakah KLB Partai Demokrat ini tidak ada persetujuan dari Moeldoko? Dari seluruh proses sejak pra kongres, saat kongres dan pasca kongres, mengisyaratkan bahwa KLB ini terjadi dengan persetujuan Moeldoko.


Menurut penulis, alangkah baik dan bijak jika memang tidak ada niat untuk malakukan upaya paksa pengambilalihan kepemimpinan di tubuh Partai Demokrat oleh Moeldoko seperti yang publik dengar di berbagai media, maka Moeldoko tidak perlu hadir dan memberikan sambutan sebagai ketua umum Partai Demokrat versi KLB.


Kedatangan Moldoko mengisyaratkan bahwa keinginan untuk mengkudeta AHY dari Ketua Umum Partai Demokrat sangatlah tinggi. Peran sejumlah kader yang beberapa saat sebelumnya dipecat karena ada upaya kudeta juga menjadi perhatian bahwa proses demokrasi yang mengandalkan kuasa dan uang sangat memalukan. Buktinya, dalam laporan Partai Demokrat, bahwa beberapa DPC ada yang hadir karena adanya imbalan uang sebesar Rp. 100 juta (sindonews.com).


Pejabat Negara


Kedudukan Moeldoko sebagai pejabat negara, yaitu Kepala Kantor Staf Presiden, menghadirkan tanda tanya besar bagi publik mengapa Moeldoko ingin menjadi Ketua Umum Partai Demokrat lewat cara-cara ilegal.


Tentu dalam mendirikan sebuah partai bukanlah hal mudah. Berdirinya sebuah partai baru harus melewati serangkaian aturan yang mesti dipenuhi. Belum lagi dana yang dibutuhkan bukanlah dana sedikit. Berbagi partai yang lahir beberapa tahun terakhir setidaknya membutuhkan biaya yang cukup besar agar dapat lolos menjadi partai baru.


Ada anggapan, bahwa beberapa mantan kader Partai Demokrat melakukan kudeta dan menempatkan Moeldoko yang bukan kader partai sebagai ketua umum adalah sebuah upaya memimpin partai politik dengan mudah dan murah. Mantan kader Partai Demokrat berpikir, bahwa dengan jabatan Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko dapat berbuat segalanya.


Inkonstitusional


Sudah pasti publik akan mengatakan bahwa KLB Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara, inkonstitusional. Di samping melanggar aturan partai, undang-undang, juga melanggar pelaksanaan kongres yang sesungguhnya tidak mendapatkan izin.


Pertaruhan bagi penegak hukum saat ini adalah apakah pelaksanaan KLB tersebut yang tidak mendapatkan izin dapat diberikan sanksi. Irjen Pol Argo Yuwono menegaskan bahwa tidak diberikan izin keramaian atas pelaksanaan KLB itu. Namun di sisi lain, mengapa KLB tersebut tetap berjalan dan tidak dibubarkan.


Pertaruhan bagi pemerintah, khususnya Menkumham, jika hasil kepengurusan Partai Demokrat versil Moeldoko maupun KLB ini tetap disahkan, maka jelaslah siapa yang berkepentingan atas terjadinya “ambil paksa” maupun kudeta Partai Demokrat.


Sekali lagi, politik yang tidak mengedepankan etika, tidak cocok untuk ditumbuh-suburkan di negara ini. Negara yang berlandaskan Pancasila yang mengandung nilai-nilai ke-Tuhan-an, ke-manusia-an dan ke-adil-an.

 

Comments


Also Featured In

    Like what you read? Donate now and help me provide fresh news and analysis for my readers   

PayPal ButtonPayPal Button

© 2023 by "This Just In". Proudly created with Wix.com

bottom of page