top of page

Umar, Nurdin dan Suap


Oleh: Muh Fitrah Yunus

Direktur Eksekutif Trilogia Institute / Anggota Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah


Pantaslah, seorang Khalifah Umar Bin Khathab begitu dibanggakan oleh banyak kalangan dengan sikap tegasnya terhadap suap. Khalifah Umar tegas menolak semua pemberian pejabat kala itu, sebab ada niat buruk yang tersembunyi dari setiap pemberian pejabat kepada Umar.


Sebuah kisah yang hingga kini bertebaran tentang integritas Umar, di antaranya, Umar pernah menolak hadiah dari seorang gubernur, yaitu Gubernur Kufa, Abu Musa Al-Asy’ari. Ia juga pernah menolak hadiah dari Gubernur Azerbeijan, yaitu berupa makanan yang sudah pasti mewah dari seorang gubernur.


Kisah Umar Bin Khathab diabadikan hingga saat ini karena ketegasannya dan tidak terbuai dengan pemberian siapapun, yang menurutnya kelak akan menimbulkan kemudharatan bagi seluruh masyarakat yang ia pimpin.


Tentulah yang dilakukan Khalifah Umar Bin Khathab sangat sejalan dengan apa yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Begitupun dalam UU dan ketetapan lainnya seperti; 1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 2. UU Nmor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; 3. UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; 4. Keputusan Presiden RI Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.


Pertanyaannya kemudian, mengapa hasrat melakukan tindakan korupsi dan menerima suap seperti sulit untuk hilang di negara ini?


Nurdin Abdullah


Tak dinyana! Sang peraih penghargaan antikorupsi itu kini ditelan KPK. Gubernur SulSel, Nurdin Abdullah, yang juga sang peraih banyak penghargaan di samping tokoh-tokoh daerah lainnya seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansah, kini, menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.


Nurdin Abdullah terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Sabtu dinihari (26/02/2021). Ia ditangkap dan telah meyandang status tersangka bersama dua orang lainnya yakni Edy Rahmat bersama NA sebagai penerima suap dan Agung Sucipto sebagai sebagai pemberi suap. ER merupakan Sekretaris Dinas Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR) Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan Agung Sucipto merupakan seorang kontraktor.


Sebenarnya dalam OTT tersebut, ada 6 orang yang ditangkap. Nurdin Abdullah sendiri dijemput di rumah dinas Gubernur SulSel, dan NA sendiri sedang tertidur pulas.


Saat ini, Nurdin dan Edy dikenakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Agung Sucipto sendiri, sebagai pemberi suap, disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.


Dari Bantaeng Ke Sulawesi Selatan


Sebelum menjadi Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah adalah Bupati Kabupaten Bantaeng yang sangat dihormati dan disayangi oleh warganya. Saking sayangnya, warga Bantaeng sempat memberikan lampu hijau kepada Nurdin Abdullah untuk memimpin berkali-kali, mejadi Bupati Bantaeng, meski dilarang dalam perundang-undangan.


Siapa yang tak bangga, saat menjadi bupati, Nurdin Abdullah melakukan revolusi terhadap kabupaten yang berjuluk Butta Toa tersebut. Julukan Butta Toa (Tanah Tua) seolah hanya menjadi julukan yang telah usang, berubah menjadi Butta Modern di tangan Nurdin Abdullah. Tak tanggung-tanggung, Kabupaten Bantaeng yang dulu menjadi daerah termiskin, dapat menjadi daerah yang pertumbuhan ekonominya melejit jauh dibanding kabupaten-kabupaten lainnya. “Sampai-sampai” orang tak percaya, mengapa daerah yang tidak memiliki Sumber Daya Alam, justru dibangun sebuah Smelter.


Itulah Nurdin Abdullah, dengan segudang prestasi yang disandangnya. Bahkan, banyak politikus negeri ini yang mengatakan bahwa Nurdin Abdullah ini kelasnya adalah kelas menteri karena kreasi dan inovasi yang dilakukannya dalam membangun Kabupaten Bantaeng. Di samping itu, sangat banyak mahasiswa maupun akademisi/dosen yang menjadikan Kabupaten Bantaeng sebagai daerah penelitian. Dari kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, tata ruang, gaya kepemimpinan, komunikasi politik, dan banyak hal diteliti oleh mahasiswa dan akademisi.


Begitulah Nurdin Abdullah memimpin warga Bantaeng, ia serasa dapat mengendalikan dengan baik kawan maupun lawan politik yang sempat berseberangan arah. Ia dapat mengayomi dengan baik lawan-lawan politik dan menuntun semua elemen warga dalam politik yang santun, beretika dan bersih.


Mana Tahan?


Ada ungkapan yang seringkali diplesetkan masyarakat dalam sebuah tindakan korupsi, yakni, “mana tahan?”.

Setelah dua periode memimpin Bantaeng, Nurdin Abdullah mencoba untuk memimpin warga Sulawesi Selatan. Bukan hal mudah, memimpin warga Sulawesi Selatan bukan hanya memimpin warga Bantaeng. Jumlah penduduk yang jumlahnya hampir sembilan juta memaksa Nurdin memeras otak agar dapat memimpin mereka layaknya memimpin warga Bantaeng; disayangi dan dicintai warganya.


Setelah mengikuti Pilkada Gubernur, akhirnya, Nurdin Abdullah berhasil menduduki posisi orang nomor 1 di tanah para pemberani itu. Dengan segala corak kehidupannya adalah tantangan berat bagi Nurdin.


Di awal pemerintahannya saja, Nurdin Abdullah menghadapi banyak lawan politik tangguh yang tak dapat dikendalikannya. Hak angket para anggota DPRD Sulawesi Selatan menerjang Nurdin Abdullah, disebabkan oleh penggantian pejabat, yang menurut anggota DPRD melanggar aturan.


Ada 5 poin landasan hak angket yang menyebutkan bahwa kebijakan pemerintahan Nurdin Abdullah melanggar aturan. Pertama, terkait pelantikan 193 pejabat SulSel yang surat keputusannya ditandatangani oleh Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Kedua, manajemen pengangkatan PNS yang dinilai tidak profesioal. Ketiga, dugaan KKN dan penempatan pejabat tertentu. Keempat, pencopotan pejabat pimpinan tinggi pratama yang dinilai tidak berdasarkan mekanisme sebagaimana diatur dalam perundang-undangan, terutama tidak adanya klarifikasi terlebih dahulu. Kelima, pelaksanaan APBD 2019 yang serapan anggarannya dianggap masih minim.


Kelima poin di atas itulah yang menyebabkan gonjang-ganjing atas kepemimpinan Nurdin Abdullah di awal pemerintahannya sebagai Gubernur Sulawesi Selatan. Terang di mata publik, bahwa lawan politik Nurdin Abdullah kali ini bukan “ecek-ecek”. Gelombang demi gelombang muncul menerjang bahtera kepemimpinan Nurdin Abdullah, dan hinggi kini menjadi tersangka dugaan suap terhadap beberapa proyek pembangunan infrasktruktur di Provinsi Sulawesi Selatan.


Biaya Politik


Benarkah biaya politik tinggi menyebabkan seorang pejabat negara yang terpilih akan melakukan tindakan korupsi, menerima gratifikasi dan suap? Hal ini telah menjadi perbincangan yang cukup lama, perbincangan yang berjalan di tempat. Mengapa? Karena para elit politik negeri ini menempatkannya pada posisi terendah di setiap pembahasan undang-undang.


Rasa-rasanya sudah lebih dari satu dekade pembahasan tentang cost politic tinggi menghiasi negeri ini tanpa tindak lanjut nyata mengikis anggapan korupsi terjadi disebabkan cost politic tinggi. Alih-alih ingin memperbaikinya, namun yang terjadi justru semakin mahal.


Seorang bakal calon kepala daerah yang ingin maju dalam kontestasi pilkada, jika ingin didukung oleh partai-partai politik, selalu ada mahar politik yang dibayarkan. Belum lagi, jika ada penyambung lidah ke salah satu partai politik tertentu, maka hal itu tidaklah gratis.


No free luch! Tidak ada makan gratis. Itu jualah yang menghiasi dunia politik hingga saat ini. Bahkan, sebagian oknum masyarakat pun meyakini hal tersebut lumrah atau wajar, karena adanya pertukaran jasa dalam tujuan dan kepentingan yang sama. Masyarakatpun ikut menunggu suap agar memberikan hak pilihnya kepada calon yang menyuap.


Dengan itu, nilai budi dalam perilaku politik dewasa ini semestinya harus kembali dihadirkan. Krisis moral, yang selalu dikumandangkan oleh seorang negarawan, Buya Syafii Ma’arif, sepertinya masih menempel bak krak-krak kotoran yang ada di toilet, yang begitu lama belum dibersihkan. Bahkan, secara tegas Syafii Ma’arif mengatakan bahwa untuk membangkitkan Indonesia dari pingsannya secara moral, maka negeri ini membutuhkan negarawan, bukan politisi yang menjadikan politik sebagai mata pencaharian.


Sorokin, A. Schweitzer dan Tonybee, pun sama, “mendakwahi” perilaku politik dewasa ini sebagai krisis nilai, terutama nila-etik. Karena perilaku manusia berpangkal pada nilai-nilai, maka krisis itu menyatakan diri secara konkrit pada kelakuannya. Sehingga, aktor politik yang kotor akan berefek pada perilaku politik masyarakat.


Akhirnya, yang ingin saya katakan, bahwa Nurdin bukanlah Umar. Umar menjaga integritasnya sebagai pemimpin, sedangkan Nurdin Abdullah jauh laku dan kata. Persamaannya? Sama-sama abdullah, hamba Allah.

 

Opmerkingen


Also Featured In

    Like what you read? Donate now and help me provide fresh news and analysis for my readers   

PayPal ButtonPayPal Button

© 2023 by "This Just In". Proudly created with Wix.com

bottom of page