SKB 3 MENTERI DAN PENDIDIKAN YANG BERKE-TUHAN-AN

Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berdasarkan Ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Hal ini mendorong bahwa warga negara Indonesia dalam setiap kegiatan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu menghadirkan nila-nilai Ke-Tuhan-an.
Pendidikan karakter yang paling utama itu adalah pendidikan agama. Pendidikan agama dinilai mampu memberikan efek positif bagi setiap peserta didik, karena agama lewat kalam Tuhan telah mencakup seluruh sendi hidup manusia, terlebih dalam penciptaan pendidikan yang berkarakter.
Tumbuhnya pendidikan yang berkarakter selalu dimulai dengan tertanamnya jiwa keberagamaan pada peserta didik. Hal itu akan terus tumbuh dengan baik jika pendidikan di sekolah-sekolah memberikan porsi yang cukup besar terhadap pendidikan karakter berbasis agama.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional telah jelas menerangkan bahwa pendidikan nasional ada pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan zaman.
Umumnya disadari bahwa perhatian mayarakat saat ini tertuju pada pemaksaan berjilbab yang terjadi di salah satu sekolah negeri yang ada di Sumatera Barat. Kasus ini banyak menyita perhatian masyarakat, terlebih bagi ummat Islam yang notabene jilbab adalah pakaian ummat muslim yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia.
Bagi mereka, ummat Islam, dari hari ke hari seperti tak ada habisnya. Semua serangan bertubi-tubi datang ke salah satu agama dan agama terbesar di Indonesia, yaitu Islam. Hal itu membuat banyak tanda tanya, dan seolah tidak ada titik temu antara Islam dan Negara. Padahal, negara ini berdiri atas dasar agama yang kuat, dalam sebuah konsensus bersama, bahwa Indonesia adalah negara berke-Tuhan-an, berkemanusiaan dan berkeadilan.
SKB 3 Menteri
Akhirnya, SKB 3 Menteri telah ditandatangani. Isi SKB ini merupakan respon atas terjadinya dugaan pemaksaan berjilbab di salah satu sekolah negeri di Sumatera Barat.
Ada enam poin utama pada SKB 3 Menteri ini. Yaitu: Pertama, SKB 3 Menteri ini mengatur sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda). Kedua, Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama. Seragam dan atribut dengan kekhususan agama.Ketiga, Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.Keempat, Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak SKB 3 Menteri ini ditetapkan.Kelima, Jika terjadi pelanggaran terhadap SKB 3 Menteri ini, maka saksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar: Pemda bisa memberikan sanksi kepada kepala sekolah, guru, atau tenaga kependidikan. Gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan sanksi kepada gubernur.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan sanksi kepada sekolah terkait bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya. Tindak lanjut atas pelanggaran akan dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sementara itu, Kementerian Agama (Kemenag) akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan bisa memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.
Keenam, Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentukan SKB 3 Menteri ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.
Peringatan MUI
MUI, Sebagai organisasi yang menghimpun seluruh ormas Islam di Indonesia, juga ikut angkat bicara terkait SKB 3 Menteri ini. Bagi MUI, pemerintah harus hati-hati membuat suatu aturan dalam pendidikan yang bersinggungan dengan agama. Jangan sampai, SKB 3 Menteri menjadi satu “umpan lambung” yang dapat menciderai pembentukan pendidikan berkarakter. Apalagi, Sekularisme bukan sekedar isu isapan jempol belaka, namun benar adanya. Sekularisme bekerja diam-diam, dan justru akan merusak karakter peserta didik.
Ketua Bidang Dakwah MUI, KH Cholis Nafis, salah satu yang mengkiritsi SKB 3 Menteri. “Mewajibkan yang wajib menurut agama Islam kepada pemeluknya aja tak boleh. Lalu pendidikannya itu dimana? Model pendidikan pembentukan karakter itu karena ada pembiasaan dari pengetahuan yang diajarkan, diharapkan menjadi kesadaran," ucapnya di akun twitter @cholilnafis.
KH Cholil Nafis mendorong kepada pemerintah agar SKB 3 Menteri dapat ditinjau kembali atau sekalian dicabut. Jangan sampai ada kegaduhan lebih jauh dalam dunia pendidikan. Padahal, pendidikan yang mau dibentuk itu adalah pendidikan karakter. Tapi di SKB 3 Menteri ini justru melonggarkan setiap peserta didik.
"Namanya juga pendidikan dasar ya, masih wajib berseragam dan wajib bersepatu. Lah giliran mau diwajibkan berjilbab bagi yang muslimah (bukan nonmuslimah) kok malah tidak boleh," tambahnya.
Senada dengan KH Cholil, Nafis, Waketum MUI, Buya Anwar Abbas juga mengingatkan pemerintah terkait hal ini. Menurutnya, undang-undang, peraturan dan kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah dan DPR dalam semua bidang kehidupan termasuk dalam dunia pendidikan, harus didasarkan dan berdasarkan nilai-nilai dari ajaran agama. "Ini artinya negara kita harus menjadi negara yang relijius bukan negara yang sekuler," ujarnya.
Pendidikan BerKe-Tuhan-an dan Berkarakter
Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah berdasarkan Ke-Tuhan-an yang Maha Esa. Hal ini mendorong bahwa warga negara Indonesia dalam setiap kegiatan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu menghadirkan nila-nilai Ke-Tuhan-an.
Tidak terlepas dalam dunia pendidikan. Pendidikan pun harus mengikuti UUD 1945, dimana pendidikan harus pendidikan yang berke-Tuhan-an. Pendidikan berke-Tuhan-an itulah yang dimaksud pendidikan agama.
SKB 3 Menteri meksi tak berpengaruh pada mutu pendidikan, akan tetapi tetap harus menjadi perhatian serius, apalagi ini terkait dengan pendidikan yang berkarakter. Karena, karakter dasar pada peserta didik dibangun lewat pendidikan agama.
Jilbab memang identik dengan Islam dan merupakan kewajiban bagi muslim perempuan karena tuntutan untuk menutup aurat. Namun, dalam pandangan penulis, sesungguhnya jilbab memiliki nilai yang universal. Sama halnya Islam yang rahmatan lil’alamin, rahmat bagi seluruh jagad alam raya. Karena, secara substansi, jilbab itu bukan sekedar kewajiban, tapi ada nilai keselamatan yang terkandung di dalamnya. Baik itu keselamatan di dunia maupun di akhirat.
Membumikan jilbab sesungguhnya menyelamatkan manusia itu sendiri. Jangan sampai, saat-saat merajalelanya tindak kriminal terhadap perempuan, barulah kita sadari pentingnya menjaga diri, utamanya dalam hal berpakaian. Itulah wujud pendidikan berkarakter berbasis pendidikan agama. Bukankah Bang Napi selalu ingatkan, “kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelaku, tapi juga karena ada kesempatan”.
Bagi penulis, sudahilah polemik jilbab ini, dan kiranya pemerintah dapat kembali meninjau SKB 3 Menteri yang telah dibuat.
MFY
Comentarios