top of page

MEMANUSIAKAN DAN MEMULIAKAN GURU HONORER

  • Writer: Parlemen 6
    Parlemen 6
  • Feb 13, 2021
  • 3 min read

Oleh: Muh Fitrah Yunus



Baru memasuki awal tahun 2021, di pertengahan bulan Februari, penulis dibuat terhenyak atas sebuah pemberitaan tentang guru Honorer di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang “dipecat” oleh kepala sekolah. Sekilas penulis baca, bahwa pemecatannya karena mengunggah gajinya yang bernilai 700 ribu rupiah ke akun media sosial miliknya.


“Kasihan”, itulah satu kata melintas di hati penulis sebagai anak guru, bahkan mungkin seluruh masyarakat yang ikut berempati atas kejadian yang dialami guru honorer tersebut. Karena dengan dalih apapun, seorang guru tak dapat diperlakukan semena-mena oleh siapapun, apalagi memberhentikannya hanya karena unggahan gaji di medsos.

Semua sepakat, bahwa guru itu adalah profesi yang sangat mulia. Saking mulianya, kalam guru ditempatkan sebagai kalam orangtua kedua setelah orangtua yang ada di rumah. Orangtua yang menitipkan anaknya kepada seorang guru dan mendapat pendidikan darinya, di situlah letak kemuliaannya.


Apalagi profesi guru honorer, betapa mulianya profesi ini, karena dapat begitu sabar menjalani profesi tersebut dengan gaji yang tak seberapa. Gaji yang boleh dikata sangat kecil. Namun, semangat kemuliaan dan niat mulia yang dibawa oleh para guru honorer menempatkan dirinya pada sebuah profesi yang tak dapat dihargai. Penghargaannya adalah penghargaan hakiki. Penghargaan dari Ilahi.


Memanusiakan Guru

Siapa yang tidak sepakat jika ada yang mengajak untuk memanusiakan guru. Jangankan guru honorer, guru PNS pun, bahkan guru-guru lainnya yang telah kita anggap guru, sudah sebuah keniscayaan jika memanusiakan mereka.


Kasus yang terjadi di Bone yang menimpa Hervina seharusnya tak lagi terjadi. Karena hal ini bukan hal baru di negeri ini. Kasus-kasus seperti itu telah menjadi salah satu potret buram pendidikan di Indonesia yang tak berkesudahan. Arogansi kepala sekolah yang memecat guru honorer tersebut dengan dalih apapun tak dapat diterima.


Alasan kepala sekolah memecat Hervina karena sudah ada guru PNS baru yang diterima mengajar di sekolah tersebut. Padahal, Hervina bukan orang baru di sekolah itu. Ia terbilang guru yang sudah cukup lama. 16 tahun telah mengabdi. Bayangkan saja, kalau tiba-tiba diberhentikan.


Kabarnya, St Hamsinah, sang kepala sekolah SDN tempat Hervina mengabdi, telah dipanggil oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone terkait pemberhentian Hervina sebagai guru honorer. Disdik Bone mengungkapkan bahwa saat ini tengah mencari sekolah-sekolah yang kekurangan guru, agar Hervina bisa kembali mengajar.


Di samping keterangan Kepala Sekolah, keterangan Hervina pun harus menjadi perhatian. Hervina mengatakan bahwa niat memposting gaji 700 ribu rupiah tersebut ke akun media sosialnya adalah bentuk terimakasih karena telah diberi gaji. Dan dengan gaji itu, Hervina mampu membayar utangnya serta memberikan sisanya kepada orangtua. Namun, niat baik Hervina untuk memberi penjelasan kepada Kepala Sekolah tidak diindahkan. Alias “dicuekin”.


Pendidikan yang Memanusiakan

Penulis yakin, bahwa Kepala Sekolah tempat Hervina mengajar juga adalah seorang pendidik atau seorang guru. Pendidikan yang memanusiakan itu tidak sekedar bagaimana memanusiakan peserta didik, tapi juga antar sesama guru. Guru yang berstatus honorer dan PNS, yang jabatannya lebih tinggi, harus ikut saling memanusiakan.


Proses pendidikan di sekolah itu berlaku atas seluruh manusia yang berada di dalamnya. Bukan berarti seorang guru itu sudah disebut seorang guru sehingga hanya mendidik muridnya, namun tak mendidik dirinya di lingkungan sekolah. Memahami pendidikan yang memanusiakan harus dipahami baik antar pendidik, maupun pendidik kepada peserta didik.


Pendidikan bagi manusia adalah upaya mempertahankan sifat kemanusiaannya, karena eksistensi manusia adalah eksistensi pendidikannya. Sehingga, jika ingin disebut orang berpendidikan, tentulah orang yang memanusiakan dan saling memanusiakan.


Subjective Well Being

Secara operasional, kebahagiaan didefinisikan sebagai subjective well-being. Subjective well-being adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang dari hidupnya. Demikianlah Syinder dan Lopez (2002) mendefinisikannya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional terhadap kejadian serta penilaian kognitif akan kepuasan dan pemenuhan.


Kaitannya dengan kemuliaan guru honorer, bahwa guru honorer disebut mulia karena adanya subjective well-being yang tinggi. Ia selalu bahagia, menikmati kehidupannya, rutinitasnya sebagai guru honorer, dan selalu ingin meningkatkan kemampuan mendidiknya, meski hanya berpenghasilan rendah.


Walaupun keinginan menjadi PNS itu tetap ada, tapi mereka (guru honorer) sedikitpun tidak menghilangkan jatidirinya sebagai pendidik. Sebagai guru dan pendidik, para guru honorer telah merasa bahagia karena niat dan kemantapan dirinya untuk mengabdi. Apalagi, jika seorang murid itu berhasil, berprestasi, sebuah kebanggaan dan kepuasan tersendiri yang tak ternilai harganya bagi para guru honorer.


Pada akhirnya, tak boleh lagi ada pendiskreditan atas profesi guru honorer. Mereka akan terus mewarnai dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah yang masih minim guru. Muliakanlah mereka dengan mengangkat mereka menjadi PNS. Namun, jika belum bisa menjadi PNS, muliakanlah mereka sebagai sesama pendidik dan sesama manusia. Jangan lagi ada “pecat memecat”!

 
 
 

Comments


Also Featured In

    Like what you read? Donate now and help me provide fresh news and analysis for my readers   

Donate with PayPal

© 2023 by "This Just In". Proudly created with Wix.com

bottom of page